Sabtu, 21 Maret 2009

Hidroponik tanaman sayur

Hidroponik tanaman sayur
Hidroponik berasal dari bahasa Latin hydros yang berarti air dan phonos yang berarti kerja. Hidroponik arti harfiahnya adalah kerja air. Bertanam secara hidroponik kemudian dikenal dengan bertanam tanpa medium tanah (soilless cultivation). Sejarah : telah berkembang secara sederhana sejak zaman Babilonia dengan taman gantung dan suku Aztek dengan rakit rumput
Pada awalnya bertanam secara hidroponik  menggunakan wadah yang hanya berisi air yang telah dicampur dengan pupuk, baik pupuk mikro maupun pupuk makro. Pada perkembangannya, bertanam hidroponik meliputi berbagai cara yaitu bertanam tanpa medium tanah, tidak hanya menggunakan wadah yang hanya diisi air berpupuk saja. Medium pasir, perlite, zeolit, rockwool, sabut kelapa, adalah beberapa bahan yang digunakan oleh para praktisi di dunia dalam bertanam secara hidroponik. Menurut pengertian ini, maka menanam anggrek (kecuali anggrek tanah) sebenarnya merupakan salah satu praktek bertanam secara hidroponik.
         Anggrek ditanam pada berbagai jenis medium seperti pakis, arang kayu, moss, kulit kayu, sabut kelapa, dll. Semua medium tersebut tidak mengandung unsur hara sama sekali. Fungsi dari medium tersebut hanya untuk menopang tanaman saja. Pupuk atau unsur hara yang diperlukan, diberikan melalui pemupukan rutin dengan cara penyemprotan ke seluruh bagian tanaman dan ke dalam medium tumbuhnya. Pupuk yang diberikan harus memenuhi kebutuhan tanaman. Pupuk ini terdiri dari unsur hara makro (N,P,K,S,Mg) dan unsur hara mikro (Fe,Zn,Cu,Mn,B,Mo). Tiap tanaman memerlukan kandungan unsur dalam takaran tertentu. Selanjutnya, tiap fase pertumbuhan tanaman juga memerlukan tiap jenis unsur hara dalam takaran tertentu pula. Pada anggrek, para praktisi mengelompokkan fase pertumbuhan tanaman menjadi tiga fase, yaitu fase vegetatif awal atau fase seedling atau fase pembibitan; fase vegetatif atau fase remaja; dan fase dewasa atau fase berbunga. Biasanya pada fase vegetatif awal, anggrek memerlukan unsur N (nitrogen) dalam jumlah yang tinggi sedangkan pada fase pembungaan maka unsur P (fosfor) dan K (kalium) diperlukan dalam jumlah yang tinggi.
Hidroponik merupakan metode bercocok tanam tanpa tanah. Bukan hanya dengan air sebagai media pertumbuhannya, seperti makna leksikal dari kata hidro yang berarti air, tapi juga dapat menggunakan media-media tanam selain tanah seperti kerikil, pasir, sabut kelapa, zat silikat, pecahan batu karang atau batu bata, potongan kayu, dan busa. Bagi sebagian besar orang tidak akan percaya di antara ratusan tomat yang dimakan tidak tumbuh di atas tanah melainkan di air. Seperti percobaan yang yang dilakukan salah satu bapak hidroponik, Dr.W.F.Gericke dari Universitas California pada tahun 1930-an. Latar belakang Gericke meneliti sistem hidroponik ini, karena ia melihat luas tanah di sekelilingnya terasa semakin menciut untuk ditumbuhi berbagai tanaman. Menurut Nicholls (1986), semua ini dimungkinkan dengan adanya hubungan yang baik antara tanaman dengan tempat pertumbuhannya. Elemen dasar yang dibutuhkan tanaman sebenarnya bukanlah tanah, tapi cadangan makanan serta air yang terkandung dalam tanah yang terserap akar dan juga dukungan yang diberikan tanah dan pertumbuhan. Dengan mengetahui ini semua, di mana akar tanaman yang tumbuh di atas tanah menyerap air dan zat-zat vital dari dalam tanah, yang berarti tanpa tanah pun, suatu tanaman dapat tumbuh asalkan diberikan cukup air dan garam-garam zat makanan. Manipulasi yang dapat dilakukan selain perlakuan di atas adalah pengontrolan. Dengan perawatan rutin (sehari hanya memakan waktu maksimal 20 menit), kita dapat menikmati bermacam buah-buahan, sayur-sayuran, dan rempah-rempah tanaman obat.

Kamis, 19 Maret 2009

BUDIDAYA JAMUR TIRAM

BUDIDAYA JAMUR TIRAM
Jamur dikenal sebagai bahan makanan pelengkap yang dikonsumsi masyarakat, karena memiliki nilai gizi tinggi. Sebagian besar jamur yang dibudidayakan merupakan jamur pangan, namun ada juga jamur yang berkhasiat untuk obat. Hasil penelitian kedokteran secara klinis menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia jamur tiram berkhasiat mengobati berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kelebihan kolesterol, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio dan influenza serta kekurangan gizi (Wahyuni, 2005). Masyarakat Cina sejak ratusan tahun lalu mempercayai bahwa ramuan jamur sebagai bahan obat dan bahan makanan yang berfungsi sebagai exilir of life atau obat/makanan yang dapat menyehatkan seseorang (Suriawiria, 2002).
Jamur tiram memiliki peluang yang cukup tinggi dan menguntungkan untuk dikembangkan. Pasar jamur sangat luas, selain untuk konsumsi dalam negeri juga untuk pasar luar negeri (ekspor). Banyaknya restoran Cina dan Jepang yang menyajikan makanan berbahan dasar jamur, semakin meningkatkan permintaan jamur oleh para konsumen. Jamur sebagai komoditas perdagangan dikenal luas baik dalam bentuk segar, kering maupun olahan.
Budidaya jamur tiram biasanya dilakukan pada media alami yaitu serbuk gergaji kayu dan bekatul tanpa penambahan pupuk, insektisida maupun hormon. Jamur tiram membutuhkan beberapa unsur hara seperti karbon, nitrogen, fosfor, sulfur, kalium dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur tersebut telah tersedia di dalam kayu, tetapi tidak sebanyak yang dibutuhkan, sehingga perlu dilakukan penambahan unsur hara melalui penambahan pupuk.
Serbuk gergaji kayu merupakan limbah dari industri kayu yang pada umumnya masih belum banyak dimanfaatkan tetapi jumlahnya cukup melimpah. Salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah gergaji kayu tersebut adalah dengan memanfaatkannya sebagai salah satu bahan baku media tanam jamur tiram putih. Jenis serbuk gergaji yang dapat dimanfaatkan sebagai media tanam jamur adalah serbuk gergaji kayu lunak hingga keras. Serbuk gergaji kayu albasia merupakan salah satu limbah industri pengolahan kayu yang mempunyai potensi untuk digunakan sebagai media tanam jamur tiram putih karena mengandung selulosa, lignin dan pektin yang diperlukan untuk pertumbuhan jamur.
Menurut Mahrup (2005), cara mempersingkat proses pertumbuhan jamur dari media induk ke media sebar yaitu mencampur bahan pokok seperti limbah gergaji kayu, dedak halus, tepung jagung dan kapur. Limbah gergaji kayu berperan sebagai media tanam, dedak dan tepung jagung merupakan sumber karbohidrat, lemak dan protein, sedangkan kapur sebagai sumber mineral dan pengatur pH (Wahyuni, 2005).
Penambahan pupuk dilakukan untuk meningkatkan sumber nutrisi yang dibutuhkan oleh jamur sehingga pertumbuhan dan perkembangannya lebih baik dan produksi yang dihasilkan akan lebih tinggi. Penggunaan pupuk anorganik sudah memasyarakat karena pupuk buatan sangat praktis, mudah diperoleh, pemakaian dapat disesuaikan dengan ketersediaan dan kebutuhan unsur hara. Setyamidjaja (1986), menyatakan bahwa untuk mendapatkan efisiensi yang optimal, pupuk diberikan dalam jumlah yang cukup yaitu tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Pentingnya pemberian pupuk yang tepat merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Hal ini disebabkan pupuk memberikan tambahan nutrisi pada media yang akan mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan serta pemunculan tubuh buah.
Upaya untuk meningkatkan hasil jamur tiram perlu terus dilakukan, dan penggunaan pupuk merupakan alternatif peningkatan produksi jamur tiram. Penambahan pupuk NPK pada media tanam dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan miselium jamur tiram putih. Komposisi media tanam jamur tiram berupa limbah serbuk gergaji kayu dan jagung giling dengan dosis pupuk NPK tertentu dapat meningkatkan produktivitasnya, sehingga perlu dikaji.

Minggu, 15 Maret 2009

Budidaya Bawang Merah Di Luar Musim

1. Pendahuluan
Bawang merah ( Allium ascalonicum) merupakan komoditas hortikultura yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomis tinggi serta mempunyai prospek pasar yang menarik. Selama ini budidaya bawang merah diusahakan secara musiman (seasonal), yang pada umumnya dilakukan pada musim kemarau (April-Oktober), sehingga mengakakibatkan produksi dan harganya berfluktuasi sepanjang tahun.

Untuk mencegah terjadinya fluktuasi produksi dan fluktuasi harga yang sering merugikan petani, maka perlu diupayakan budidaya yang dapat berlangsung sepanjang tahun antara lain melalui budidaya di luar musim (off season). Dengan melakukan budidaya di luar musim dan membatasi produksi pada saat bertanam normal sesuai dengan permintaan pasar, diharapkan produksi dan harga bawang merah dipasar akan lebih stabil.

2. Syarat Tumbuh
Bawang Merah menyukai daerah yang beriklim kering dengan suhu agak panas dan mendapat sinar matahari lebih dari 12 jam. Bawang merah dapat tumbuh baik didataran rendah maupun dataran tinggi (0-900 mdpl) dengan curah hujan 300 - 2500 mm/th dan suhunya 25 derajat celcius - 32 derajat celcius. Jenis tanah yang baik untuk budidaya bawang merah adalah regosol, grumosol, latosol, dan aluvial, dengan pH 5.5 - 7.

3. Benih
Penggunaan Benih bermutu merupakan syarat mutlak dalam budidaya bawang merah. Varietas bawang merah yang dapat digunakan adalah Bima, Brebes, Ampenan, Medan, Keling, Maja Cipanas, Sumenep, Kuning, Timor, Lampung, Banteng dan varietas lokal lainnya. Tanaman biasanya dipanen cukup tua antara 60 -80 hari, telah diseleksi dilapangan dan ditempat penyimpanan. Umbi yang digunakan untuk benih adalah berukuran sedang, berdiameter 1,5 - 2 cm dengan bentuk simetris dan telah disimpan 2-4 bulan, warna umbi untuk lebih mengkilap, bebas dari organisme penganggu tanaman.

4. Penyiapan Lahan
Pengolahan tanah dilakukan pada saat tidak hujan 2 - 4 minggu sebelum tanam, untuk menggemburkan tanah dan memberik sirkulasi udara dalam tanah. Tanah dicangkul sedalam 40 cm. Budidaya dilakukan pada bedengan yang telah disiapkan dengan lebar 100-200 cm, dan panjang sesuai kebutuhan. Jarak antara bedengan 20-40 cm.

5. Penanaman
Penanaman dilakukan pada akhir musim hujan, dengan jarak tanam 10-20 cm x 20 cm. Cara penanamannya; kulit pembalut umbi dikupas terlebih dahulu dan dipisahkan siung-siungnya. Untuk mempercepat keluarnya tunas, sebelum ditanam bibit tersebut dipotong ujungnya hingga 1/3 bagian. Bibit ditanam berdiri diatas bedengan sampai permukaan irisan tertutup oleh lapisan tanah yang tipis.

6. Pemeliharaan
a. Penyiraman dapat menggunakan gembor atau sprinkler, atau dengan cara menggenangi air disekitar bedengan yang disebut sistem leb. Pengairan dilakukan secara teratur sesuai dengan keperluan tanaman, terutama jika tidak ada hujan.

b. Pemupukan : Pupuk yang diberikan adalah pupuk kandang, dengan dosis 10 ton/ha, pupuk buatan dengan dosis urea 100 kg/Ha, ZA 200 kg/Ha, TSP/SP-36 250 kg/ha. KCI 150 kg/ha (sesuai dengan kesuburan tanah)

c. Penyulaman, dilakukan apabila dilapangan dijumpai tanaman yang mati. Biasanya dilakukan paling lambat 2 minggu setelah tanam.

d. Pembumbunan dan penyiangan, dilakukan bersamaan pada saat tanaman berumur 21 hari.

e. Pengendalian OPT dilakukan tergantung pada serangan hama dan penyakit. Hama yang menyerah tanaman bawang merah adalah ulat tanah, ulat daun, ulat grayak, kutu daun dan Nematoda Akar.

Pengendalian Hama dilakukan dengan cara:
- Sanitasi dan pembuangan gulma
- Pengumpulan larva dan memusnahkan
- Pengolahan lahan untuk membongkar persembunyian ulat
- Penggunaan Insektisida
- Rotasi Tanaman

Penyakit yang sering menyerang bawang merah adalh Bercak Ungu, Embun Tepung, Busuk Leher Batang, Antraknose, Busuk Umbi, Layu Fusarium dan Busuk Basah.

Pengendalian penyakit dilakukan dengan cara:
- Sanitasi dan pembakaran sisa tanaman yang sakit
- Penggunaan benih yang sehat
- Penggunaan fungisida yang efektif

7. Panen
Panen dilakukan bila umbi sudah cukup umur sekitar 60 HST, ditandai daun mulai menguning, caranya mencabut seluruh tanaman dengan hati-hati supaya tidak ada umbi yang tertinggal atau lecet. Untuk 1 (satu) hektar pertanaman bawang merah yang diusahakan secara baik dapat dihasilkan 10-15 ton.

8. Pasca Panen
a. Pengeringan umbi dilakukan dengan cara dihamparkan merata diatas tikar atau digantung diatas para-para. Dalam keadaan cukup panas biasanya memakan waktu 4-7 hari. Bawang merah yang sudah agak kering diikat dalam bentuk ikatan.Proses pengeringan dihentikan apabila umbi telah mengkilap, lebih merah, leher umbi tampak keras dan bila terkena sentuhan terdengar gemerisik.

b. Sortasi dilakukan setalh proses pengeringan

c. Ikatan bawang merah dapat disimpan dalam rak penyimpanan atau digantung dengan kadar air 80 (persen) - 85 (persen), ruang penyimpnan harus bersih, aerasi cukup baik, dan harus khusus tidak dicampur dengan komoditas lain.

Sabtu, 14 Maret 2009

BUDIDAYA BAWANG MERAH ASAL BIJI

BUDIDAYA BAWANG MERAH ASAL BIJI


Sampai saat ini petani bawang merah di Daerah Istimewa Yogyakarta selalu menggunakan umbi bibit sebagai bahan tanaman. Bibit yang berasal dari umbi, daya hasilnya relatif tidak berubah dengan bergantinya waktu. Peningkatan daya hasil hanya bisa dilakukan melalui perbaikan kultur teknis, dan suatu ketika produksi bawang merah akan mengalami penurunan.
Untuk meningkatkan produktivitas bawang merah selain perbaikan kultur teknis, petani perlu dikenalkan varietas unggul “TUK-TUK” yang dapat ditanam melalui biji. Ciri-ciri bawang merah ini antara lain bentuk umbi bulat, ukuran seperti bawang merah lokal Philipina, warna umbi merah muda sampai kecoklatan.
Bawang ini dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi, dengan suhu optimal 25 - 32 derajat celcius, tanah yang cocok adalah tanah yang aerasinya baik, subur, gembur, mempunyai bahan organik tinggi, sedang pH tanah berkisar 5,5-6,5. Adapun cara bercocok tanamnya sebagai berikut :

CARA BERCOCOK TANAM
Persemaian
Benih atau biji sebaiknya disemai pada lahan terbuka agar tumbuh dengan baik, caranya:
1. Buat bedengan dengan lebar 1m, tinggi 40cm-50cm, dan panjang menyesuaikan lahan yang tersedia.
2. Usahakan jarak antar bedengan 40-50 cm.
3. Campur tanah bedengan dengan pupuk kandang 2 Kg/m2 dan kapur pertanian sebanyak 150-200g/m2,
4. Ratakan kembali bedengan tersebut,
5. Taburi bedengan dengan sekam padi setebal 9-10 cm.
6. Bakar sekam padi selanjutnya dibiarkan selama 1 hari.
7. Ratakan bedengan, beri pupuk dasar KCI:50g/m2; SP-36:50g/m2 dan bahan aktif karbofuran 5g/m2,
8. Buat alur melintang dengan jarak antara alur 5-10cm dan kedalaman 1 cm.
9. Taburkan biji bawang merah pada alur tersebut sebanyak 150-200 biji/alur, kemudian tutup alur dengan tanah.
10. Lakukan penyiraman secara rutin dan hati-hati untuk menjaga kelembaban;
11. Kecambah akan muncul 5-10 HSS (Hari Setelah Semai);
12. Bila musim hujan sebaiknya bedengan ditutp dengan sungkup plastik selama 3-4 minggu.

Penanaman
1. Buat bedengan yang sama baik ukuran maupun perlakuannya seperti bedengan pesemaian, kemudian diari sampai basah.
2. Buat lubang tanam dengan jarak dalam barisan 5cm-10cm dan jarak antar barisan 10cm;
3. Usahakan baris tanaman dibuat memotong bedengan untuk memudahkan penyiangan;
4. Tanam bibit yang telah berumur 6 minggu setelah semai dengan memasukkan bibit kedalam lubang tanam satu lubang satu bibit;
5. Tekan tanah disekitarnya dengan lembut supaya akarnya menyatu dengan tanah.

PENANGANAN OPT HORTIKULTURA BERBASIS KAWASAN

PENANGANAN OPT HORTIKULTURA BERBASIS KAWASAN

MEMBANGUN DUKUNGAN PENERAPAN GAP MELALUI PHT (Bagian I dari 2 Tulisan)
Gendang pengembangan kawasan hortikultura telah dikumandangkan dan ditanggapi secara baik oleh beberapa provinsi. Konsepsi pengembangan kawasan hortikultura oleh Direktorat Jenderal Hortikultura diartikan sebagai pengembangan sentra produksi hortikultura kabupaten/kota berdekatan saling menyambung atau antar kabupaten/kota antar provinsi dengan kesamaan agroklimat, karakteristik produk, penanganan pasca panen, teknologi dan jenis OPT serta infrastruktur dan sarana pendukungnya. Pendekatan pengembangan kawasan ini menimbulkan keinginan sekaligus tantangan jajaran perlindungan tanaman untuk menangani OPT secara baik. Tulisan ini mencoba menjabarkan peran Direktorat Perlindungan Tanaman Horti-kultura dalam penanganan OPT di kawasan hortikultura.
 
Tulisan ini terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu upaya-upaya perlindungan tanaman hortikultura membangun dukungan penerapan GAP melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan dukungan pemenuhan persyaratan SPS
 
Sebagaimana diketahui bahwa komoditas hortikultura merupakan komoditas prospektif, baik di pasar domestik maupun internasional, sehingga program pengembangan hortikultura didasarkan atas pertimbangan potensi wilayah, kondisi agroklimat, fokus binaan, sumbangan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan nasional dan peningkatan ekspor. Menteri Pertanian menetapkan komoditas hortikultura binaan sebanyak 323 jenis,  terdiri dari buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis dan tanaman hias 117 jenis. Dengan banyaknya komoditas binaan tersebut dan mengingat keterbatasan yang ada, prioritas-prioritas pengembangannya perlu dilakukan, diantaranya didasarkan pada beberapa aspek, yaitu untuk kecukupan bahan makanan, memiliki manfaat ekonomi, kesehatan dan budaya.
Dalam aspek bahan makanan, hortikultura berperan sebagai sumber vitamin, mineral, serat, antioksidan dan energi. Untuk mencukupi kebutuhan berbagai bahan makanan, peningkatan produksi dan konsumsi merupakan langkah strategis yang harus diambil. Sebagai gambaran, pada tahun 2005, produksi buah-buahan mencapai 14,7 juta ton; sayuran 9,1 juta ton; bunga potong 173 juta tangkai dan biofarmaka 342.000 ton. Pada tahun 2006 – 2009 ditargetkan peningkatan produksi hortikultura secara keseluruhan rata-rata 6,3% per tahun, sehingga pada tahun 2009 mencapai produksi 17,8 juta ton (buah-buahan), 11,3 juta ton (sayuran), 235,2 juta tangkai (bunga potong) dan 420,9 ribu ton (biofarmaka) (Statistik Pertanian, Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, tahun 2006).
Dalam aspek ekonomi, hortikultura memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan, industri maupun penyerapan tenaga kerja. Bahkan secara nasional komoditas hortikultura mampu memberikan sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan.
 Prioritas komoditas secara nasional dalam pengembangan hortikultura didasarkan pada komoditas-komoditas yang memberikan sumbangan nilai ekonomi tinggi, menghidupi hajat hidup masyarakat banyak, tersebar luas dan mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Komoditas unggulan hortikultura tersebut adalah mangga, manggis, durian, pisang, jeruk, bawang merah, cabai merah, kentang, anggrek dan rimpang.
Sejalan dengan perkembangan lingkungan strategis dan tuntutan percepatan pengembangan agribisnis hortikultura serta potensi yang ada, pendekatan berbasis kawasan hortikultura merupakan pilihan pengembangan hortikultura ke depan yang perlu disikapi secara baik oleh semua pihak. Dengan pendekatan kawasan, jenis dan jumlah komoditas yang dikembangkan tidak tergantung komoditas unggulan di atas tetapi sesuai dengan kondisi kawasan yang bersangkutan.
 
Pengembangan Kawasan Hortikultura
 
1.      Pola Pikir dan Konsepsi Pengembangan Kawasan
 
a.      Pola Pikir
Terdapat tiga aspek yang tidak terpisahkan dalam pengembangan hortikultura, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Produksi menjamin pasokan kebutuhan hortikultura, baik dari segi jumlah, mutu dan kontinuitas. Sementara itu, sebagai produk yang mempunyai sifat mudah rusak dan tidak tahan lama, aspek distribusi dan pemasaran, memegang peranan yang sangat besar dalam pengembangan hortikultura. Sedangkan konsumsi memegang kunci dalam pelaksanaan dan kelancaran dua aspek lainnya. Konsumsi yang tinggi akan menarik produksi berkelanjutan dan kelancaran distribusi dan pemasaran.
Dalam aspek produksi, penerapan GAP dan teknologi maju  merupakan langkah operasional yang perlu dilakukan, sehingga memperoleh hasil yang tinggi dan mutu produk yang baik. Penataan dan pengembangan pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management / SCM) merupakan langkah penataan rantai sejak produksi sampai dengan distribusi dan pemasaran, yang mampu menjamin keberlanjutan produksi dan kepuasan produsen, pedagang dan konsumen. Ketiga aspek tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang ada, baik lingkungan domestik maupun global, serta keberadaan potensi, tantangan dan peluang. Untuk itu, pengembangan hortikultura perlu difasilitasi kebijakan, stategi dan program yang terarah dan jelas.
 
Keseluruhan dukungan yang diperlukan dalam pengembangan hortikultura diwadahi dalam jejaring kerja berbagai stakeholder dalam Fasilitasi Terpadu Investasi Hortikultura (FATIH).
Dari skema di atas, pengembangan hortikultura harus dirancang dan dilaksanakan secara terpadu di semua segmen produksi – distribusi – dan konsumsi. Secara operasional, pengembangan kawasan hortikultura harus dapat disinergikan (bahasa Dirjen Hortikultura : diorchestrakan) oleh semua stakeholders dan lebih memberdayakan sektor swasta melalui FATIH, dengan meningkatkan upaya daya saing produk hortikultura, antara lain melalui penerapan GAP/SOP (dijiwai oleh penerapan PHT), pelayanan terpadu di sentra produksi, pengelolaan rantai pasokan (SCM), dan promosi.
 
b.      Konsepsi Pengembangan Kawasan
 Dengan definisi tersebut terkandung makna bahwa kawasan dimasud haruslah meliliki ciri : kesamaan agroklimat, karakteristik produk, penanganan pasca panen, teknologi dan jenis OPT dan sarana pendukungnya, serta apabila mungkin diupayakan komoditas yang monokultur.
Tipelogi kawasan hortikultura tersebut adalah (1) kawasan dengan dominasi satu atau beberapa komoditas hortikultura dengan sedikit atau tanpa tambahan/sisipan dari komoditas lainnya (misalnya kawasan usaha jeruk di Kabupaten Sambas), (2) kawasan dengan dominasi yang seimbang atau hampir seimbang antara komoditas hortikultura dan komoditas lainnya (misalnya kawasan usaha bawang merah di Brebes-Jateng, Nganjuk-Jatim), dan (3) kawasan dengan dominasi komoditas non-hortikultura dengan sedikit atau banyak tambahan/sisipan komoditas hortikultura di dalamnya (misalnya kawasan usaha rambutan di Subang-Jabar).  
Dengan tipelogi seperti tersebut, kawasan dimaksud dibangun/dikembangkan dengan basis kabupaten kota, lintas kabupaten/kota, atau bahkan lintas provinsi, seperti yang baru-baru ini disosialisasi di Jawa Barat, yaitu kawasan lintas kabupaten, PASULE (Purwakarta, Subang, Lembang/Bandung) sebagai kawasan hortikultura sekaligus agrowisata. Kawasan ini mencakup daerah-daerah wisata Jatiluhur, Ciater, Gunung Tangkuban Perahu, Curug Panganten dan Maribawa dengan komoditas unggulan buah : manggis, nenas, rambutan dan strawberri; tanaman sayuran : paprika, sayuran eksklusif dan sayuran dataran tinggi.
Penataan kelembagaan dan sistem budidaya, kesiapan SDM, teknologi dan fasilitasinya masih memerlukan identifikasi menyeluruh. Di sini peran pemerintah baik pusat, daerah propinsi maupun kabupaten/kota sangat penting, oleh karena itu identifiksi kawasan-kawasan semacam ini masih terus dilakukan.
 
2.      Tantangan Perlindungan Tanaman dalam Penanganan OPT di Kawasan
 
a.      GAP dan PHT
GAP merupakan praktek budidaya hortikultura yang menganut kaidah-kaidah budidaya yang baik yang sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan keinginan konsumen. Dalam GAP tercakup penerapan teknologi yang ramah lingkungan, penjagaan kesehatan, peningkatan kesejahteraan pekerja, pencegahan penularan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), dan prinsip traceability (dapat ditelusuri). Dengan demikian, penerapan GAP akan mampu memenuhi tuntutan konsumen yang menginginkan produk yang bermutu baik dan aman dikonsumsi.
 
Selama ini, petani sebagai produsen seringkali berada dalam posisi yang lemah dan dirugikan. Hal ini terkait dengan kondisi rantai pasokan yang tidak/kurang berpihak kepada petani. Untuk itu, penataan dan penyempurnaan pengelolaan rantai pasokan (SCM) perlu mendapatkan perhatian utama. Terdapat enam kunci keberhasilan penerapan SCM yaitu a). Memahami pelanggan/konsumen, b) menyediakan produk dengan benar sesuai permintaan konsumen, c) menciptakan nilai tambah dan membagikan secara proporsional kepada anggota rantai, d) logistik dan distribusi yang memadai, e) komunikasi dan informasi yang lancar, dan f) hubungan yang efektif antar pelaku rantai pasokan.
Kunci pentingnya adalah menyediakan produk melalui pengelolaan budidaya yang baik dan benar sesuai GAP dan memenuhi permintaan pasar dengan jaminan mutu, jumlah dan kontinuitasnya. Kenyataan di lapangan saat ini adalah produk yang dihasilkan bermutu rendah dan dari daerah produksi subsisten.
FATIH, merupakan jejaring kerja yang mempersatukan semua kelembagaan pemerintah dan para pelaku usaha baik yang tergabung dalam kelembagaan usaha maupun perorangan. Dengan FATIH diharapkan mampu menciptakan pelayanan yang bermuara pada pengembangan fasilitasi terpadu dalam menarik, mendorong dan melaksanakan investasi di bidang hortikultura.
Pengembangan kawasan hortikultura seyogyanya dijiwai dengan pelaksanaan program-program di atas. Dalam penanganan OPT, pengembangan kawasan hortikultura sangat cocok dengan penerapan PHT di lapangan.
  
b.      Penerapan PHT Skala Kawasan mendukung Penerapan GAP
 
Dalam pengembangann kawasan, pelaksanaan prinsip budidaya yang baik dan benar sesuai GAP/POS tidak dapat dipisahkan dengan penerapan PHT. Pelaksanaan PHT melalui pola sekolah lapang (SL) dan penerapan PHT dalam skala luas, merupakan wujud dukungan perlindungan tanaman dan bahkan dapat dijadikan basis kelompok penerapan GAP.
PHT merupakan sistem pengendalian OPT yang telah menjadi kebijakan nasional, dengan landasan hukum UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam penerapan PHT, diakomodasikan berbagai teknik pengendalian OPT dalam satu kesatuan program, sehingga populasi OPT dalam kondisi yang tidak merugikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, aman bagi produsen dan konsumen, serta aman bagi lingkungan.
Penerapan PHT melalui sistem Sekolah Lapang PHT (SLPHT) menjadi salah satu faktor penyumbang keberhasilan penerapan GAP. Implementasi prinsip-prinsip PHT, pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara tujuan penerapan GAP dengan perangkat Prosedur Operasional Standar (POS)-nya. Kedua sistem tersebut mengarahkan pada pencapaian produksi hortikultura yang tinggi, aman dikonsumsi, aman bagi produsen/pekerja, ramah lingkungan, dan memberikan kesejahteraan/ keuntungan ekonomi yang maksimal bagi petani/produsen.
 Dalam pelaksanaan GAP/POS meng-haruskan pencatatan-pencatatan kegiatan dan berbagai hal yang terkait dengan budidaya, sehingga dapat dilakukan penelusuran (traceability) balik secara benar dan tepat. Sementara itu, dalam penerapan PHT prinsip traceability belum membudaya, sehingga dalam pelaksanaan SLPHT, prinsip ini perlu dijadikan budaya peserta SL.   
Penilaian terhadap titik kendali penerapan GAP/POS dilakukan sejak perencanaan tanam, pengolahan lahan sampai dengan panen dan pascapanen. Dalam penilaian juga dilakukan terhadap pengelolaan alat/peralatan, sarana pengendalian (pestisida), tenaga kerja, fasilitas penunjang, termasuk fasilitas formulir pengaduan. Dalam PHT, pengelolaan lebih fokus pada kegiatan-kegiatan sejak perencanaan dan budidaya tanaman sampai dengan panen. Prinsip budidaya tanaman yang sehat dalam PHT, mengharuskan perencanaan tanam yang baik, pemilihan komoditas, varietas, waktu tanam, pemupukan, pengairan dan berbagai teknik budidaya yang baik dan benar.
Dari uraian tentang GAP/POS dan PHT, akan terlihat jelas bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam penerapan GAP/POS, unsur-unsur penerapan PHT menjadi sangat penting dan dominan. Salah satu persyaratan umum dalam penerapan GAP/SOP adalah petani/kelompok tani yang telah mengikuti pelatihan PHT melalui SLPHT.
 
Penerapan PHT Skala Luas
Dalam skala kawasan, penerapan PHT dilakukan melalui pola skala luas. Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura menggambarkan pola skala luas seperti bagan berikut.
 
Dengan pola PHT skala luas yang dibentuk dari jejering kelompok yang ada di kawasan, penerapan PHT akan mencapai hasil optimal dalam pengendalian OPT. Prasyarat dalam penerapan PHT skala luas adalah adanya satu kesatuan sentra komoditas di kawasan, jenis OPT yang ditangani tertentu dan telah diidentifikasi, teknologi pengendalian sesuai PHT dikuasai, adanya fasilitasi sekolah lapang (SL) yang mampu memberdayakan petani dan masyarakat, dan tersedianya sarana pemantauan dan pengendalian OPT yang memadai.   
 Tindak lanjut dan Penutup
Keberhasilan pengembangan kawasan hortikultura terletak pada implementasi kebijakan, strategi, dan program dengan dukungan kemampuan sumberdaya manusia, teknologi, infrastruktur, fasilitas permodalan, peralatan, dan dukungan kebijakan, program dan aturan lokal di kawasan.
Sementara itu, di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi juga  perlu penataan yang baik. Di tingkat budidaya, penerapan sistem yang baik dan benar sesuai GAP yang dijiwai penerapan PHT dengan implikasi lapanganya melalui penerapan PHT skala luas. Di samping penerapan PHT dan implikasinya melalui penerapan PHT skala luas di lapangan, upaya pemenuhan persyaratan global terkait ISPM, perlu digarap secara sistematis, terpadu, dan berkelanjutan dari semua pihak. Aktivitas yang dirancang adalah melalui pengerahan kemampuan sumberdaya (manusia, teknologi, informasi dan dana), permodalan, peralatan, dan dukungan kebijakan, program dan aturan lokal di kawasan untuk membangun sistem pemenuhan persyaratan perdagangan dunia untuk mendorong ekspor produk hortikultura ke negara lain.
Di tingkat distribusi implementasi sistem pasokan produk / SCM juga perlu dibangun secara baik, mulai dari pemahaman karakterikstik produsen, preferensi konsumen, jaminan ketersedian dan mutu, dan kontinuitasnya, margin/keuntungan yang proporsional antar pelaku rantai pasokan, logistik dan distribusi yang baik, komunikasi dan informasi yang baik, serta hubungan yang efektif antar pelaku rantai pasokan.
 

Jumat, 13 Maret 2009

Teknik Perbanyakan Klonal Tanaman Hortikultura

Teknik Perbanyakan Klonal Tanaman Hortikultura


1. Kultur Meristem Untuk Perbanyakan Klonal Anggrek.

Selain pengecambahan biji anggrek, kultur jaringan juga digunakan untuk perbanyakan vegetatif (perbanyakan klonal) anggrek. Dalam perbanyakan vegetatif ini umumnya dihasilkan propagul yang identik dengan induk tanaman, sedangkan perbanyakan dengan biji (perkecambahan) dapat menghasilkan propagul dengan sifat-sifat yang beragam.

Teknik pertama yang digunakan pada perbanyakan vegetatif anggrek adalah kultur meristem. Morel (1960) menggunakan teknik kultur meristem ini untuk memperoleh bibit bebas virus dari tanaman yang terinfeksi oleh virus. Teknik ini kemudian dikembangkan untuk perbanyakan vegetatif anggrek yaitu dengan cara mengkulturkan meristem, menumbuhkannya, membelahnya menjadi beberapa bagian, msing-masing bagian dikulturkan, sub kultur ini dilakukan berulang-ulang. Dengan teknik ini dapat diperoleh ratusan tanaman dari satu meristem. Kultur meristem ini merupakan salah satu teknik komersial pertama untuk perbanyakan vegetatif anggrek.

Bahan eksplan yang digunakan adalah batang anggrek (panjang 10 - 15 cm) dengan daun-daun muda yang baru tumbuh. Batang anggrek ini dicuci dengan air mengalir untuk mencuci tanah, kompos dan kotoran-kotoran lain yang melekat pada batang anggrek. Daun-daun pada batang dikupas dengan hati-hati sampai tunas sampingnya terlihat. Batang ini dicelupkan dalam alkohol 70% lalu disterilkan dalam larutan sodium hypochlorite (10%) selama 10 - 15 menit dan dicuci dengan air steril sebanyak 2 - 3 kali. Tunas-tunas sampingnya dipotong, meristem diisolasi dibawah mikroskop binokuler dan dikulturkan dalam media steril yang telah disiapkan.

Media yang digunakan dalam kultur meristem anggrek ini tidak jauh berbeda dengan media lainnya. Beberapa media yang digunakan untuk perbanyakan anggrek adalah Knudson 'C' (Knudson, 1946), Wimber (Wimber, 1963) atau Fonnesbech (Fonnesbech, 1972) atau media MS (Murashige and Skoog, 1962). Media yang digunakan umumnya media padat, kecuali Cattleya yang dikulturkan dalam media cair. Media ini dipadatkan dengan Bacto agar (8 - 10 %). Sebagai sumber karbon, sukrose ditambahkan dalam media (20 gr/L), atau kombinasi glukose (10 %) dan sukrose (10%). Hormon pertumbuhan ditambahkan dalam media ini dalam konsentrasi rendah. Auksin yang digunakan antara lain IAA, IBA, NAA atau 2,4-D pada konsentrsi 1 mg/L karena diduga auksin dapat merangsang pertumbuhan akar. Sitokinin yang digunakan umumnya adalah Kinetin dan BAP pada konsentrsi 0,5 mg/L untuk merangsang pertumbuhan tunas. GA3 juga ditambahkan dalam media ini, peranannya diduga untuk meningkatkan pertumbuhan plantlet dan menghambat pembentukan protocorm. Media diatur keasamannya pada kisaran 5 dan 6. Botol-botol kultur diinkubasikan dalam keadaan terang (12 sampai 18 jam) pada intensitas cahaya 150 mM dan suhu rata-rata 22 - 28°C.

Meristem memperlihatkan responnya setelah dikulturkan selama 3 minggu. Meristem membengkak, berwarna hijau lalu beberapa protocorm muncul. Sebelum kuncup terminal terbentuk dan setelah ptotocorm berukuran 2-3 mm, protocorm tersebut dikeluarkan, masing-masing protocorm dibelah menjadi 4 bagian dan ditanam dalam media yang baru. Sub kultur dilakukan kembali setiap 6 minggu dengan mengisolasi dan membelah protocorm yang terbentuk. Bila perbanyakan ini dianggap cukup, protocorm dibiarkan dalam media media pertumbuhkan agar kuncup terminal terbentuk yang kemudian berkembang menjadi plantlet. Plantlet dapat dipindahkan ke kondisi in-vivo setelah 4 bulan dalam botol kultur. Dengan teknik ini, dapat diperoleh 250.000 plantlet dari 1 meristem dalam waktu 1 tahun.



2. Perbanyakan Pisang

Salah satu tanaman buah-buahan yang diperbanyak secara komersial dengan teknik kultur jaringan adalah pisang. Pisang biasanya diperbanyak secara vegetatif menggunakan anakan atau bonggolnya. Ukuran anakan yang cukup besar menyulitkan transportasi bibit dari satu tempat ke tempat penanamannya. Anakan yang diproduksi oleh satu induk pisang ukuran dan umurnya beragam, sehingga sangat sulit untuk memperoleh anakan berukuran seragam dalam jumlah memadai untuk perkebunan pisang secara komersial. Perbanyakan klonal pisang dengan teknik kultur jaringan dapat mengatasi kendala-kendala tersebut.

Berbagai jenis bibit pisang lokal dan import telah diperbanyak dengan teknik kultur jaringan ini, misalnya pisang barangan, mas, ambon hijau, ambon kuning dan cavendish. Bibit pisang produksi kultur jaringan tersebut dewasa ini telah dijual secara komersial dan dapat diperoleh dengan mudah.

Metode dan tahapan perbanyakan yang digunakan untuk perbanyakan klonal pisang ini serupa dengan metode perbanyakan lainnya. Teknik yang umum digunakan adalah kultur meristem (meristem culture) atau kultur pucuk (shoot culture), selain itu telah dicoba juga untuk mengkulturkan tangkai bunga inflorescence muda pisang.

Meristem dan pucuk pisang diisolasi dari batang pisang pada bonggol pisang yang tertutupi oleh pelepah-pelepah daun pisang. Eksplan yang digunakan untuk kultur meristem umumnya adalah mata tunas pisang yang baru muncul pada bonggolnya. Sedangkan untuk kultur pucuk, eksplan yang digunakan diperoleh dari anakan pisang muda yang baru tumbuh dengan daun yang masih menggulung menyerupai pedang (memiliki 2 - 3 daun) dengan panjang 20 - 40 cm. Anakan pisang yang sehat dan tumbuh dengan subur dipisahkan dari induknya. Anakan tersebut dicuci sampai bersih dengan air mengalir dan disabun untuk membuang sisa tanah dan kotoran-kotoran yang melekat pada anakan pisang. Anakan pisang lalu disemprot dengan alkohol (70%), pelepah daun-daun terluar (2 - 3 lapis) dikupas satu persatu sambil disemprot dengan alkohol. Bagian bonggol, pucuk dipotong sampai diperoleh bahan eksplan sepanjang ± 5 cm. Bagian ini dobawa ke laminar air flow lalu disterilkan dengan sodium hypochlorite (2 %) selama 10 - 15 menit atau dibakar di atas lampu spiritus selama 1 menit. Bahan eksplan dikupas secara aseptis, bagian yang mengandung meristem lalu dibelah (2 sampai 4) dan dikulturkan dalam media yang telah dipersiapkan. Kultur disimpan dalam rak-rak kultur dengan penyinaran 150 - 200 nm per detik selama 10 - 14 jam dan suhu 20 - 25 °C.

Media yang digunakan untuk perbanyakan klonal pisang ini umumnya adalah media MS (Murashige and Skoog, 1962) atau 1/2 MS. Media inisiasi kultur pucuk umumnya adalah media semi padat. Media ini dipadatkan dengan Bacto agar (6 - 8 gram). Karbohidrat ditambahkan ke dalam media sebagai sumber karbon, umumnya adalah sukrose (2 - 3 %). Untuk merangsang pertumbuhan tunas pada eksplan, zat pengatur tumbuh umumnya ditambahkan ke dalam media kultur. Sitokinin (BAP) umumnya digunakan pada kisaran konsentrasi 3 - 6 ppm tergantung varietas, dengan atau tanpa kombinasi dengan auksin. Keasaman media umumnya adalah 5,5 sampai 6.



3. Perbanyakan Kentang

Kentang merupakan salah satu jenis tanaman yang telah lama diperbanyak dengan teknik kultur jaringan secara komersial. Perbanyakan kentang selama ini umumnya dilakukan dengan umbi bibit (tuber). Produksi umbi bibit dapat dilakukan sendiri oleh petani atau oleh produsen umbi bibit kentang. Umbi bibit yang digunakan oleh petani bervariasi kualitas, yaitu umbi bibit generasi F4 sampai F6. Kekurangan produksi umbi bibit ini dilapangan adalah kemungkinan infeksi umbi oleh patogen dan virus yang terbawa oleh organ vegetatif ini. Lahan pertanian kentang di Indonesia umumnya terinfeksi oleh virus. Virus yang terbawa oleh bibit kentang dapat menurunkan produkstivitas tanaman kentang sebesar 10 - 15 % per generasi.

Perbanyakan kentang dengan kultur jaringan dilakukan untuk memproduksi bibit kentang berkualitas, bebas penyakit dalam jumlah yang banyak dalam waktu singkat. Teknik perbanyakan klonal yang digunakan ditujukan untuk memproduksi plantlet kentang atau umbi mikro kentang yang dapat digunakan langsung sebagai bibit dilapangan atau untuk memproduksi umbi bibit yang digunakan untuk penanaman kentang.

Metode yang umum digunakan untuk produksi plantlet dan umbi mikro kentang adalah teknik kultur meristem atau kultur satu mata tunas (single-node culture). Kultur meristem digunakan untuk produksi bibit kentang bebas virus. Eksplan (pucuk muda kentang) disterilkan dengan sodium hypochlorite (10 - 15 %) selama 10 - 15 menit lalu dibilas dengan air steril beberapa kali. Meristem diisolasi dibawah mikroskop binokuler dan dikulturkan dalam media yang telah dipersiapkan. Untuk perbanyakan dengan teknik single-node culture, daun-daun muda pada pucuk kentang dibuang, batang dipotong (satu buku per eksplan), eksplan ditanam dalam media yang telah dipersipkan. Kondisi kultur umumnya adalah terang dengan penyinaran 10 - 14 jam dan intensitas cahaya rendah (100 - 150 mm per detik) dan suhu 15 - 25°C.

Media yang umum digunakan untuk perbanyakan kentang adalah media MS baik dalam konsentrasi penuh atau 1/2 konsentrasi garam-garamnya. Media yang digunakan umumnya adalah media yang dipadatkan dengan bakto agar ( 6 - 8 gr/L). Ke dalam media awal ini umumnya ditambahkan sitokinin (BAP/BA 3 - 5 ppm) untuk merangsang pertumbuhan tunas pada eksplan. Keasaman media biasanya diatur pada kisaran 5 sampai 6.

Eksplan yang dikulturkan memperlihatkan respon pertumbuhan dalam waktu singkat. Meristem membesar seminggu setelah ditanam. Plumula berkembang menjadi daun dan batang memanjang setelah 2 bulan dikulturkan. Setelah 4 bulan, tunas dapat diperbanyak dengan metode single-node culture setelah dilakukan pengujian bahwa tunas yang dihasilkan bebas virus. Tunas baru keluar dari buku-buku batang seminggu setelah dikulturkan. Tunas ini memanjang sampai memiliki 5 - 6 buku dalam waktu 4 minggu. Tunas yang cukup panjang kemudian diisolasi, dipotong-potong kembali menjadi 1 buku dan ditanam dalam media baru untuk perbanyakan. Setelah 7 - 10 kali sub kultur, tunas tersebut dibiarkan selama 2 minggu sampai cukup panjang, lalu dipindahkan ke media pengakaran (NAA 3 ppm). Setelah 1 sampai 2 bulan plantlet ini siap dipindahkan ke lapangan.

Tunas-tunas yang dibiarkan setelah 2 bulan dapat memproduksi umbi-umbi mikro (tuberlet) bila ditanam dalam media yang sesuai. Produksi umbi mikro umumnya dilakukan pada media dengan konsentrasi sukrose tinggi (30 gr/L) dan dalam kondisi gelap atau intensitas cahaya rendah. Untuk memperoleh tuber mikro (tuberlet) dengan ukuran yang diinginkan (³ 0,2 mm), kultur harus tetap ditanam dalam media dengan konsentrasi gula tinggi. Umbi mikro ini dapat dipanen dua bulan setelah diproduksi. Dewasa ini masih dilakukan optimasi terhadap produksi umbi mikro yang dihasilkan. Upaya yang dilakukan umumnya ditujukan untuk meningkatkan produksi umbi mikro dengan ukuran yang diinginkan. Salah satu aspek yang sedang dioptimalkan adalah upaya mempertahankan agar gula tersedia bagi pengisian umbi sebelum terhidrolisa menjadi glukose.

600 Ha Tanaman Hortikultura

Lebih 600 Ha Tanaman Hortikultura Puso Selama 2007


Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pertanian (Deptan) mengungkapkan selama 2007 lebih 600 hektar (ha) areal tanaman hortikultura meliputi sayuran dan buah-buahan mengalami gagal panen atau puso akibat bencana banjir.

Dirjen Hortikultura Deptan, Ahmad Dimyati, di Jakarta, Senin, mengatakan selama Januari-Desember 2007 areal tanaman sayuran dan buah-buahan secara nasional yang terkena bencana banjir seluas 891,2 ha, 615 ha di antaranya gagal panen.

"Namun demikian bencana alam yang terjadi pada komoditas hortikultura relatif tidak mengganggu produksi nasional," katanya ketika menyampaikan Kinerja Ditjen Hortikultura Tahun 2007.

Areal tanaman sayur-sayuran yang terkena banjir seluas 663,1 ha dengan gagal panen 468,7 ha atau lebih tinggi dibanding tanaman buah-buahan yakni seluas 228,1 ha yang mana puso mencapai 146,3 ha.

Komoditas sayuran yang mengalami gagal panen pada 2007 yakni cabai, bawang merah, bawang putih, kentang, tomat, kubis, kacang panjang, ketimun, terong, sawi, bayam, pare, gambas, wortel dan kangkung.

Sedangkan untuk buah-buahan terdiri jeruk, pisang, rambutan, durian, salak, semangka, alpukat dan melon.

Untuk sayur-sayuran, menurut Ahmad Dimyati, areal tanaman cabai merupakan yang terluas terkena serangan banjir selama tahun lalu yakni 435 ha dengan puso 299,1 ha sedangkan buah-buahan yakni semangka yang mencapai 134,8 ha yang mana 128,8 ha diantaranya gagal panen.

Sementara itu mengenai pengaruh bencana banjir di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama dua bulan terakhir terhadap komoditas hortikultura, dia menyebutkan, di kedua provinsi tersebut selama Desember hingga Januari 2008 sebanyak 39,3 ha terkena banjir yagn mana 25 ha diantaranya gagal panen.

Di Jawa Tengah sebanyak 25,3 ha tanaman pisang, cabe, bawang merah dan kacang panjang yang tersebar di Kabupaten Wonogiri, Karanganyar, Demak dan Sragen terkena banjir dengan tingkat puso mencapai 11 ha.

Sedangkan di Jawa Timur seluas 14 ha tanaman cabai, terong, gambas, timun dan melon di Kabupaten Kediri, Magetan, Ngawi dan Trenggalek terkena banjir dan keseluruhannya mengalami gagal panen.

Ahmad Dimyati mengatakan, ke depan pihaknya akan mengupayakan pengembangan tanaman sayuran maupun buah-buahan yang bisa dibudidayakan di dataran rendah untuk mengantisipasi kerusakan areal tanaman hortikultura akibat bencana banjir.

"Kami juga akan mengkampanyekan konsumsi sayuran dan buah-buahan dari daerah tropis yang umumnya dibudidayakan di dataran rendah," katanya.

Untuk memperoleh vitamain, mineral atauapun fiber, tambahnya, tidak harus mengkonsumsi sayuran ataupun buah-buahan dari negara-negara subtropis yang umumnya harus ditanam di dataran tinggi