Sabtu, 14 Maret 2009

PENANGANAN OPT HORTIKULTURA BERBASIS KAWASAN

PENANGANAN OPT HORTIKULTURA BERBASIS KAWASAN

MEMBANGUN DUKUNGAN PENERAPAN GAP MELALUI PHT (Bagian I dari 2 Tulisan)
Gendang pengembangan kawasan hortikultura telah dikumandangkan dan ditanggapi secara baik oleh beberapa provinsi. Konsepsi pengembangan kawasan hortikultura oleh Direktorat Jenderal Hortikultura diartikan sebagai pengembangan sentra produksi hortikultura kabupaten/kota berdekatan saling menyambung atau antar kabupaten/kota antar provinsi dengan kesamaan agroklimat, karakteristik produk, penanganan pasca panen, teknologi dan jenis OPT serta infrastruktur dan sarana pendukungnya. Pendekatan pengembangan kawasan ini menimbulkan keinginan sekaligus tantangan jajaran perlindungan tanaman untuk menangani OPT secara baik. Tulisan ini mencoba menjabarkan peran Direktorat Perlindungan Tanaman Horti-kultura dalam penanganan OPT di kawasan hortikultura.
 
Tulisan ini terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu upaya-upaya perlindungan tanaman hortikultura membangun dukungan penerapan GAP melalui penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan dukungan pemenuhan persyaratan SPS
 
Sebagaimana diketahui bahwa komoditas hortikultura merupakan komoditas prospektif, baik di pasar domestik maupun internasional, sehingga program pengembangan hortikultura didasarkan atas pertimbangan potensi wilayah, kondisi agroklimat, fokus binaan, sumbangan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan nasional dan peningkatan ekspor. Menteri Pertanian menetapkan komoditas hortikultura binaan sebanyak 323 jenis,  terdiri dari buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, biofarmaka 66 jenis dan tanaman hias 117 jenis. Dengan banyaknya komoditas binaan tersebut dan mengingat keterbatasan yang ada, prioritas-prioritas pengembangannya perlu dilakukan, diantaranya didasarkan pada beberapa aspek, yaitu untuk kecukupan bahan makanan, memiliki manfaat ekonomi, kesehatan dan budaya.
Dalam aspek bahan makanan, hortikultura berperan sebagai sumber vitamin, mineral, serat, antioksidan dan energi. Untuk mencukupi kebutuhan berbagai bahan makanan, peningkatan produksi dan konsumsi merupakan langkah strategis yang harus diambil. Sebagai gambaran, pada tahun 2005, produksi buah-buahan mencapai 14,7 juta ton; sayuran 9,1 juta ton; bunga potong 173 juta tangkai dan biofarmaka 342.000 ton. Pada tahun 2006 – 2009 ditargetkan peningkatan produksi hortikultura secara keseluruhan rata-rata 6,3% per tahun, sehingga pada tahun 2009 mencapai produksi 17,8 juta ton (buah-buahan), 11,3 juta ton (sayuran), 235,2 juta tangkai (bunga potong) dan 420,9 ribu ton (biofarmaka) (Statistik Pertanian, Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, tahun 2006).
Dalam aspek ekonomi, hortikultura memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan, industri maupun penyerapan tenaga kerja. Bahkan secara nasional komoditas hortikultura mampu memberikan sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) secara signifikan.
 Prioritas komoditas secara nasional dalam pengembangan hortikultura didasarkan pada komoditas-komoditas yang memberikan sumbangan nilai ekonomi tinggi, menghidupi hajat hidup masyarakat banyak, tersebar luas dan mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Komoditas unggulan hortikultura tersebut adalah mangga, manggis, durian, pisang, jeruk, bawang merah, cabai merah, kentang, anggrek dan rimpang.
Sejalan dengan perkembangan lingkungan strategis dan tuntutan percepatan pengembangan agribisnis hortikultura serta potensi yang ada, pendekatan berbasis kawasan hortikultura merupakan pilihan pengembangan hortikultura ke depan yang perlu disikapi secara baik oleh semua pihak. Dengan pendekatan kawasan, jenis dan jumlah komoditas yang dikembangkan tidak tergantung komoditas unggulan di atas tetapi sesuai dengan kondisi kawasan yang bersangkutan.
 
Pengembangan Kawasan Hortikultura
 
1.      Pola Pikir dan Konsepsi Pengembangan Kawasan
 
a.      Pola Pikir
Terdapat tiga aspek yang tidak terpisahkan dalam pengembangan hortikultura, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Produksi menjamin pasokan kebutuhan hortikultura, baik dari segi jumlah, mutu dan kontinuitas. Sementara itu, sebagai produk yang mempunyai sifat mudah rusak dan tidak tahan lama, aspek distribusi dan pemasaran, memegang peranan yang sangat besar dalam pengembangan hortikultura. Sedangkan konsumsi memegang kunci dalam pelaksanaan dan kelancaran dua aspek lainnya. Konsumsi yang tinggi akan menarik produksi berkelanjutan dan kelancaran distribusi dan pemasaran.
Dalam aspek produksi, penerapan GAP dan teknologi maju  merupakan langkah operasional yang perlu dilakukan, sehingga memperoleh hasil yang tinggi dan mutu produk yang baik. Penataan dan pengembangan pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management / SCM) merupakan langkah penataan rantai sejak produksi sampai dengan distribusi dan pemasaran, yang mampu menjamin keberlanjutan produksi dan kepuasan produsen, pedagang dan konsumen. Ketiga aspek tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang ada, baik lingkungan domestik maupun global, serta keberadaan potensi, tantangan dan peluang. Untuk itu, pengembangan hortikultura perlu difasilitasi kebijakan, stategi dan program yang terarah dan jelas.
 
Keseluruhan dukungan yang diperlukan dalam pengembangan hortikultura diwadahi dalam jejaring kerja berbagai stakeholder dalam Fasilitasi Terpadu Investasi Hortikultura (FATIH).
Dari skema di atas, pengembangan hortikultura harus dirancang dan dilaksanakan secara terpadu di semua segmen produksi – distribusi – dan konsumsi. Secara operasional, pengembangan kawasan hortikultura harus dapat disinergikan (bahasa Dirjen Hortikultura : diorchestrakan) oleh semua stakeholders dan lebih memberdayakan sektor swasta melalui FATIH, dengan meningkatkan upaya daya saing produk hortikultura, antara lain melalui penerapan GAP/SOP (dijiwai oleh penerapan PHT), pelayanan terpadu di sentra produksi, pengelolaan rantai pasokan (SCM), dan promosi.
 
b.      Konsepsi Pengembangan Kawasan
 Dengan definisi tersebut terkandung makna bahwa kawasan dimasud haruslah meliliki ciri : kesamaan agroklimat, karakteristik produk, penanganan pasca panen, teknologi dan jenis OPT dan sarana pendukungnya, serta apabila mungkin diupayakan komoditas yang monokultur.
Tipelogi kawasan hortikultura tersebut adalah (1) kawasan dengan dominasi satu atau beberapa komoditas hortikultura dengan sedikit atau tanpa tambahan/sisipan dari komoditas lainnya (misalnya kawasan usaha jeruk di Kabupaten Sambas), (2) kawasan dengan dominasi yang seimbang atau hampir seimbang antara komoditas hortikultura dan komoditas lainnya (misalnya kawasan usaha bawang merah di Brebes-Jateng, Nganjuk-Jatim), dan (3) kawasan dengan dominasi komoditas non-hortikultura dengan sedikit atau banyak tambahan/sisipan komoditas hortikultura di dalamnya (misalnya kawasan usaha rambutan di Subang-Jabar).  
Dengan tipelogi seperti tersebut, kawasan dimaksud dibangun/dikembangkan dengan basis kabupaten kota, lintas kabupaten/kota, atau bahkan lintas provinsi, seperti yang baru-baru ini disosialisasi di Jawa Barat, yaitu kawasan lintas kabupaten, PASULE (Purwakarta, Subang, Lembang/Bandung) sebagai kawasan hortikultura sekaligus agrowisata. Kawasan ini mencakup daerah-daerah wisata Jatiluhur, Ciater, Gunung Tangkuban Perahu, Curug Panganten dan Maribawa dengan komoditas unggulan buah : manggis, nenas, rambutan dan strawberri; tanaman sayuran : paprika, sayuran eksklusif dan sayuran dataran tinggi.
Penataan kelembagaan dan sistem budidaya, kesiapan SDM, teknologi dan fasilitasinya masih memerlukan identifikasi menyeluruh. Di sini peran pemerintah baik pusat, daerah propinsi maupun kabupaten/kota sangat penting, oleh karena itu identifiksi kawasan-kawasan semacam ini masih terus dilakukan.
 
2.      Tantangan Perlindungan Tanaman dalam Penanganan OPT di Kawasan
 
a.      GAP dan PHT
GAP merupakan praktek budidaya hortikultura yang menganut kaidah-kaidah budidaya yang baik yang sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi dan keinginan konsumen. Dalam GAP tercakup penerapan teknologi yang ramah lingkungan, penjagaan kesehatan, peningkatan kesejahteraan pekerja, pencegahan penularan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), dan prinsip traceability (dapat ditelusuri). Dengan demikian, penerapan GAP akan mampu memenuhi tuntutan konsumen yang menginginkan produk yang bermutu baik dan aman dikonsumsi.
 
Selama ini, petani sebagai produsen seringkali berada dalam posisi yang lemah dan dirugikan. Hal ini terkait dengan kondisi rantai pasokan yang tidak/kurang berpihak kepada petani. Untuk itu, penataan dan penyempurnaan pengelolaan rantai pasokan (SCM) perlu mendapatkan perhatian utama. Terdapat enam kunci keberhasilan penerapan SCM yaitu a). Memahami pelanggan/konsumen, b) menyediakan produk dengan benar sesuai permintaan konsumen, c) menciptakan nilai tambah dan membagikan secara proporsional kepada anggota rantai, d) logistik dan distribusi yang memadai, e) komunikasi dan informasi yang lancar, dan f) hubungan yang efektif antar pelaku rantai pasokan.
Kunci pentingnya adalah menyediakan produk melalui pengelolaan budidaya yang baik dan benar sesuai GAP dan memenuhi permintaan pasar dengan jaminan mutu, jumlah dan kontinuitasnya. Kenyataan di lapangan saat ini adalah produk yang dihasilkan bermutu rendah dan dari daerah produksi subsisten.
FATIH, merupakan jejaring kerja yang mempersatukan semua kelembagaan pemerintah dan para pelaku usaha baik yang tergabung dalam kelembagaan usaha maupun perorangan. Dengan FATIH diharapkan mampu menciptakan pelayanan yang bermuara pada pengembangan fasilitasi terpadu dalam menarik, mendorong dan melaksanakan investasi di bidang hortikultura.
Pengembangan kawasan hortikultura seyogyanya dijiwai dengan pelaksanaan program-program di atas. Dalam penanganan OPT, pengembangan kawasan hortikultura sangat cocok dengan penerapan PHT di lapangan.
  
b.      Penerapan PHT Skala Kawasan mendukung Penerapan GAP
 
Dalam pengembangann kawasan, pelaksanaan prinsip budidaya yang baik dan benar sesuai GAP/POS tidak dapat dipisahkan dengan penerapan PHT. Pelaksanaan PHT melalui pola sekolah lapang (SL) dan penerapan PHT dalam skala luas, merupakan wujud dukungan perlindungan tanaman dan bahkan dapat dijadikan basis kelompok penerapan GAP.
PHT merupakan sistem pengendalian OPT yang telah menjadi kebijakan nasional, dengan landasan hukum UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam penerapan PHT, diakomodasikan berbagai teknik pengendalian OPT dalam satu kesatuan program, sehingga populasi OPT dalam kondisi yang tidak merugikan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, aman bagi produsen dan konsumen, serta aman bagi lingkungan.
Penerapan PHT melalui sistem Sekolah Lapang PHT (SLPHT) menjadi salah satu faktor penyumbang keberhasilan penerapan GAP. Implementasi prinsip-prinsip PHT, pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara tujuan penerapan GAP dengan perangkat Prosedur Operasional Standar (POS)-nya. Kedua sistem tersebut mengarahkan pada pencapaian produksi hortikultura yang tinggi, aman dikonsumsi, aman bagi produsen/pekerja, ramah lingkungan, dan memberikan kesejahteraan/ keuntungan ekonomi yang maksimal bagi petani/produsen.
 Dalam pelaksanaan GAP/POS meng-haruskan pencatatan-pencatatan kegiatan dan berbagai hal yang terkait dengan budidaya, sehingga dapat dilakukan penelusuran (traceability) balik secara benar dan tepat. Sementara itu, dalam penerapan PHT prinsip traceability belum membudaya, sehingga dalam pelaksanaan SLPHT, prinsip ini perlu dijadikan budaya peserta SL.   
Penilaian terhadap titik kendali penerapan GAP/POS dilakukan sejak perencanaan tanam, pengolahan lahan sampai dengan panen dan pascapanen. Dalam penilaian juga dilakukan terhadap pengelolaan alat/peralatan, sarana pengendalian (pestisida), tenaga kerja, fasilitas penunjang, termasuk fasilitas formulir pengaduan. Dalam PHT, pengelolaan lebih fokus pada kegiatan-kegiatan sejak perencanaan dan budidaya tanaman sampai dengan panen. Prinsip budidaya tanaman yang sehat dalam PHT, mengharuskan perencanaan tanam yang baik, pemilihan komoditas, varietas, waktu tanam, pemupukan, pengairan dan berbagai teknik budidaya yang baik dan benar.
Dari uraian tentang GAP/POS dan PHT, akan terlihat jelas bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam penerapan GAP/POS, unsur-unsur penerapan PHT menjadi sangat penting dan dominan. Salah satu persyaratan umum dalam penerapan GAP/SOP adalah petani/kelompok tani yang telah mengikuti pelatihan PHT melalui SLPHT.
 
Penerapan PHT Skala Luas
Dalam skala kawasan, penerapan PHT dilakukan melalui pola skala luas. Direktur Perlindungan Tanaman Hortikultura menggambarkan pola skala luas seperti bagan berikut.
 
Dengan pola PHT skala luas yang dibentuk dari jejering kelompok yang ada di kawasan, penerapan PHT akan mencapai hasil optimal dalam pengendalian OPT. Prasyarat dalam penerapan PHT skala luas adalah adanya satu kesatuan sentra komoditas di kawasan, jenis OPT yang ditangani tertentu dan telah diidentifikasi, teknologi pengendalian sesuai PHT dikuasai, adanya fasilitasi sekolah lapang (SL) yang mampu memberdayakan petani dan masyarakat, dan tersedianya sarana pemantauan dan pengendalian OPT yang memadai.   
 Tindak lanjut dan Penutup
Keberhasilan pengembangan kawasan hortikultura terletak pada implementasi kebijakan, strategi, dan program dengan dukungan kemampuan sumberdaya manusia, teknologi, infrastruktur, fasilitas permodalan, peralatan, dan dukungan kebijakan, program dan aturan lokal di kawasan.
Sementara itu, di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi juga  perlu penataan yang baik. Di tingkat budidaya, penerapan sistem yang baik dan benar sesuai GAP yang dijiwai penerapan PHT dengan implikasi lapanganya melalui penerapan PHT skala luas. Di samping penerapan PHT dan implikasinya melalui penerapan PHT skala luas di lapangan, upaya pemenuhan persyaratan global terkait ISPM, perlu digarap secara sistematis, terpadu, dan berkelanjutan dari semua pihak. Aktivitas yang dirancang adalah melalui pengerahan kemampuan sumberdaya (manusia, teknologi, informasi dan dana), permodalan, peralatan, dan dukungan kebijakan, program dan aturan lokal di kawasan untuk membangun sistem pemenuhan persyaratan perdagangan dunia untuk mendorong ekspor produk hortikultura ke negara lain.
Di tingkat distribusi implementasi sistem pasokan produk / SCM juga perlu dibangun secara baik, mulai dari pemahaman karakterikstik produsen, preferensi konsumen, jaminan ketersedian dan mutu, dan kontinuitasnya, margin/keuntungan yang proporsional antar pelaku rantai pasokan, logistik dan distribusi yang baik, komunikasi dan informasi yang baik, serta hubungan yang efektif antar pelaku rantai pasokan.
 

1 komentar:

  1. Dari penerapan GAP yg dijiwai oleh PHT tentunya diharapkan produk yg dihasilkan bebas pestisida tetapi di daerah produk yg dihasilkan justru masih bermandikan pestisida karena alternatip selain pestisida belum tersedia bagaimana solusinya

    BalasHapus